Dalam malam-malam yang hampir kaku, jemari masih saja terasa berkarat, tak hendak berbuat apa pun, sembari detak-detak jam dinding di kamar ini masih asyik berbunyi, entah dari kapan ia mulai bergerak mengitari lingkaran putih diatas kepala tempat tidur ini. ah yang aku tau ia telah berdetak selama kurang lebi dua tahun ini.
Lupakan tentang jam yang masih asyik bergerak, ini bukan cerita tentang jam tua karena akan terasa lama jika bicara tentang waktu tentang kegusaraan yang terasa macet tak berjalan. tentang keterhentian waktu yang aku menjerit untuk di kembalikan.
ini cerita tentang kita, dan tentang gantungan-gantungan perasaan yang masih macet di tower-tower telekomunikasi. sementara tirai dan kipas berbicara bahasa hening yang tak aku mengerti. dan nyamuk nyamuk kecil masih asyik terbang di lampu kecil meja ini ah ini masih tentang kita, tentang macetnya jalur-jalur rasa yang hening tak bersuara.
Aku masih membaca buku kuliah yang isinya tak serupa, masih tak bermakna karena pikirku tak lain karena rasa yang tertunda, ah rasanya sudah sejam sudah namun aroma-aroma tak berhambat belum juga aku terima, karena macet pena cerita kita, tak dapat di ganti dengan pensil berwarna tua. ah cukuplah pena macet ini tetap ku gores sembari menunggu pagi yang mungkin bekasnya bisa kau baca, tulisan tentang rasa yang salahnya tak cuma tentang kita berdua, tapi tentang orang lain yang juga menulis kata persis sama denganku. tapiiii meraka punya tinta hitam lancar tak berulah, sedang aku masih menggores pena berharap tinta lancar tak macet menyertainya.
heii, asal kamu tau pena ini punya makna rasa yang kamu bilang bisa kau baca walau tanpa tulisan, yang bisa kau pahami tanpa kamu tau hurup apa ada di dalamnya.. masih tentang kita yang intinya jelas terbaca namun macet tak berarah, ahhh terlalu maksa denga kata macet ini meski sebenarnya kamu tau bahwa tinta ini sudah membantu dalam tulisan-tulisan yang sama di waktu dulu..
"heii sudah makan? makan yok, Laper ni. " suara setengah raksasa mulai menggema
"belum, makan dimana? sebentar-sebentar" aku masih asyik menulis dengan penah yang tak bertintah
"ngapain sih lu dari tadi sibuk aje lu? yeh Raksasa makin nanya gila
"Diem lu, jangan bikin pikiran gue makin macet." penah tak bertintah masih menari indah
"cepatan, laper-laper pake banget gue" Raksasa mulai ngebacot tingkat dewa.
"dan teruntuk untuk kamu, ini hanya rasa yang tak sampai karena sebuah alasan "MACET" semoga pena tak bertinta masih berbekas dikertas yang berisi sama ini."
@Benagustian
0 Komentar untuk "Rasa(nya) yang Macet"
Silakan tinggalkan pesan anda, tidak perlu pesan panjang, cukup komen sederhana saja, oke salam kenal